Setiap orang memiliki karakternya
masing-masing. Ada yang berperan sebagai penonton, pemain, sutradara, maupun
pembuat skenario. Diantara peran-peran tersebut, di kalangan masyarakat justru akrab
akan ungkapan “Jangan hanya jadi penonton, tapi jadilah seorang pemain.”
Ungkapan ini mungkin biasa saja bagi mereka yang belum menelaahnya lebih dalam
lagi.
Tapi sebenarnya ungkapan tersebut
bertujuan untuk mengajak para penontonnya agar menjadi pribadi yang aktif dalam
menciptakan suatu perubahan. Meskipun demikian, sebagai penonton pun sebenarnya
kita bisa mengambil pelajaran berharga yang disampaikan melalui film yang
ditayangkan.
Pelajaran dari Film Layangan Putus
Sebetulnya saya sendiri juga
belum menonton filmnya. Tapi teman-teman di salah satu grup yang saya ikuti
membahas mengenai pembelajaran yang bisa dipetik dari film Layangan Putus. Saya
pun baru mengetahui dan menyadari tentang pembelajaran ini setelah mereka
membahasnya.
Lalu dari pembahasan tersebut
disampaikan bahwa pelajaran-pelajaran berharga dari film Layangan Putus ini
sebaiknya disebar luaskan. Pasalnya masih banyak diantara kita yang mengikuti kebiasaan
pola aksi reaksi tanpa mengetahui ilmunya lebih dalam lagi.
Perihal yang sebenarnya ingin
dibahas pada film ini yaitu tentang ketidak harmonian antara figur maskulin dan
feminin dalam rumah tangga. Berikut ini pembelajaran yang dapat dipetik dari
film Layangan Putus.
Konsep Maskulin dan Feminin
Setiap orang terlahir dengan
fitrahnya masing-masing. Yang mana ia harus terekspresikan dalam kehidupan
sehari-harinya untuk menjaga agar dirinya tetap berada dalam kondisi
stabil. Sebagai manusia tentu kita tidak
bisa terus menerus berada dalam kondisi stabil.
Namun setidaknya kita perlu
mengetahui bagaimana agar kestabilan tersebut tetap terjaga. Untuk menjaga
kestabilannya seseorang harus kembali atau setidaknya mendekati fitrahnya.
Bagaimanapun juga kehidupa yang terjadi selama ini sering mendistraksi
seseorang sehingga tidak berada pada fitrah dasarnya.
Lalu apa saja sih fitrah dasar pria
dan wanita? Fitrah dasar pria yaitu maskulin, sedangkan wanita adalah feminin.
Maskulin akan melakukan aktivitas seperti berfikir, memutuskan suatu hal,
melakukan suatu tindakan, mengeksekusinya, memberi, dan mengayomi. Sedangkan feminin
akan lebih merasakan, mengekspresikan, mengalami, memilih, menerima, menikmati,
dan sensualitas.
Sensualitas yang dimaksudkan di
sini yaitu hal-hal yang berkaitan dengan sensor dari panca indranya, baik itu
melihat, menyentuh, mendengar, merasa, dan mencium. Sehingga pada kondisi yang
harmoni seorang pria akan menginisiasi dan memberi. Di samping itu pada kondisi
harmoni seorang wanita akan menerima dan merespon. Kondisi harmoni inilah yang
harus selalu terjaga agar rumah tangga dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Programming dan Pergeseran Nilai
Disadari atau tidak, kehidupan
saat ini sudah mengalami banyak pergeseran nilai. Pergeseran-pergeseran nilai ini
sedikit demi sedikit mulai disepakati dalam kehidupan pribadi maupun
bermasyarakat. Pada akhirnya hal itu membentuk programming yang tidak harmoni
antara pria dan wanita.
Misalnya saja ketika seorang
istri melakukan semua hal untuk suaminya, memberikan kebebasan sebebas-bebasnya
kepada suami, dan mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri. Akan tetapi si
suami tetap merasa cintanya justru semakin pudar meskipun istrinya sudah
melakukan semua itu. Hal ini terjadi karena si suami tidak bisa
mengekespresikan maskulinnya sebagaimana mestinya.
Karena tidak bisa menyalurkan
jiwa maskulinnya, akhirnya ia sendiri merasa sulit untuk melakukan komunikasi dari
hati ke hati dengan pasangannya. Alhasil para pria seperti ini akan cenderung
menghindari pasangannya. Hal ini juga berlaku bagi para wanita.
Wanita atau lebih tepatnya
seorang istri sering kali melakukan overfunctioning dalam kehidupan rumah
tangganya. Ia berusaha untuk selalu memberi, memulai, mengejar, mencoba,
mengayomi, dan berkorban. Namun semakin sorang istri melakukan hal-hal maskulin
di atas maka semakin buruk pula perlakuan pasangannya kepadanya.
Peristiwa-peristiwa tersebut
tejadi karena tidak harmoninya antara maskulin dan feminin yang sesuai fitrahnya.
Belajar dari peristiwa ketidakharmonian ini, maka sebagai orang tua sebaiknya
kita mendidik anak-anak kita sesuai fitrahnya.
Mulai saat ini kita harus
mengizinkan anak laki-laki untuk melakukan aktivitas secara mandiri dan
menggeser nilai yang saat ini berkembang. Umumnya saat ini pemikiran tentang menempatkan
posisi bahwa laki-laki harus selalu dilayani adalah keharusan yang wajib
dilakukan oleh seorang perempuan. Padahal secara fitrahnya seorang pria itu
maskulin. Sayangnya pemrograman dan pergeseran nilai yang tidak tepat
menjadikannya kehilangan fitrahnya dan jati dirinya sendiri.
Semoga uraian di atas dapat
memberikan manfaat dan bisa menjadikan pelajaran untuk kita dalam menjalani
kehidupan berumah tangga yang lebih baik lagi. Di dunia ini tidak ada manusia
yang sempurna, tapi setidaknya kita harus mencoba untuk selalu memperbaiki diri
sendiri terlebih dahulu sebelum menilai tentang orang lain.
Post a Comment
Post a Comment