Membiarkan kedzaliman pasangan
yang menimbulkan jiwa itu tidak dibenarkan dengan kalimat, “Saya bertahan saja.”
Jiwa kita memiliki daya tahan. Jika yang disampaikannya sebagai alasan kuat
yaitu demi anak-anak, maka kajilah kembali tentang siapkah anak menanggung
trauma ketika melihat ibunya terdzalimi setiap hari? Untuk itu, islam
menganjurkan agar berusahalah bangkit untuk mendapatkan solusi ketika mengalami
permasalahan yang sangat berat dalam rumah tangga. Sehingga, makna bertahan
disini bukanlah makna pasif.
Bertahan dalam logika yaitu
mencari sebuah solusi untuk memohon perubahan. Ketika kita sudah berusaha agar
pasangan kita mendapatkan insight ataupun perbaikan dalam dirinya, maka
disitulah kita bisa menentukan apakah proses pernikahan ini dilanjutkan atau
tidak. Maka rumus pertama agar mendapat energi positif agar bertahan bersifat
aktif yaitu niatkan terlebih dahulu karena Allah SWT. Ketika seseorang
meniatkan sesuatu karena Allah SWT, dia akan mencari kebaikan-kebaikan yang ada
di dalam pernikahan tersebut. Misalnya, saya bertahan karena mencari ridha
Allah SWT.
Dalam mencari ridha Allah SWT
tentunya kita tidak pasif. Hal yang dapat dilakukan yaitu:
1. Memberikan kekuatan pada diri kita agar tidak lemah dalam
menghadapi keburukan atau kedzaliman pasangan. Kita bisa berdo’a untuk
memberikan kekuatan batin kita. Misalnya do’a yang membuat seorang Asiyah bisa
menghadapi kebengisan Firaun. Di sisi lain, contoh Asiyah menghadapi Firaun ini
juga bisa menjadi contoh tentang sosok wanita mulia. Meskipun ujung dari
kehidupannya tidak boleh kita tiru. Karena pada akhirnya sebagian para mufasir
menyebutkan bahwa Asiyah meninggal di tangan Firaun. Hal yang dapat dicontoh
dalam hal ini yaitu tentang bagaimana Asiyah memohon kepada Allah SWT dengan
balasan surga atas kesabarannya dalam menghadapi pasangan yang benar-benar
rusak.
Jadi, kata kunci pertama agar kita
tidak rugi di sisi Allah bahwa kita bertahan untuk mencari ridha sesuai dengan
kesanggupan diri kita. Jika alasannya bertahan hanya untuk anak-anak, maka dia
tidak akan memiliki nilai ibadah.
2.
Ketika pernikahan yang
terjadi memberikan dampak buruk, tetapi kita menyadari bahwa menikah adalah
ibadah, maka kita seharusnya memahami bahwa ibadah sejatinya menguji tentang
sejauh mana ketahanan kita. Lalu kita bukan hanya sekedar pasrah ketika
menerima hal-hal buruk namun kita dituntut untuk keluar menemukan akarnya dan mencari
solusi atasnya.
Post a Comment
Post a Comment